Tahafut Al-Falasifah, Tahafut At-Tahafut
Judul Buku: Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para Filosof)
Penulis: Al Gazali
Pengantar: Dr Sulaiman Dunya
Penerbit: Marja’ Bandung, cet 3 tahun 2012
Tebal: 308 halaman
Tahafut Al-Falasifah, sebuah karya fenomenal yang memang penting untuk
direnungkan kita semua. Karya Ulama besar asal Bagdad ini selain sudah
dikenal luas sebagai buku filsafat, yang sesungguhnya adalah kitab
tentang ilmu kalam, perlu hadir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia
yang selama ini tidak pernah mampu melepaskan dari belenggu dikotomi
antara filsafat dan agama.
Sebagian masyarakat muslim kita, yang membutuhkan kesadaran berpikir kritis harus diakui “terpaksa” mengambil perspektif filsafat sekuler. Hal ini perlu dimaklumi mengingat antara agama (wahyu) dengan ilmu pengetahuan (baca filsafat) memang sesuatu yang berbeda.
Kebutuhan untuk menjembatani antara filsafat dan agama sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum Tahafut ini ditulis oleh Al-Gazali. Tetapi sampai beberapa abad sebelum itu, usaha itu tak kunjung datang sampai munculnya kitab ini. Sayangnya, apa yang ditulis Al-Gazali bukanlah sebuah sintesis yang menghasilkan hubungan harmoni, melainkan kontradiksi yang tajam.
Penolakan Al-Gazali atas filsafat sebagai kebenaran berpikir justru menjadi bagian dari sikap yang pada akhirnya membuat masyarakat muslim sendiri dilanda keterbelahan sikap; di satu sisi masih membutuhkan pengetahuan non samawi, di lain pihak butuh tambatan pasti dari wahyu.
Sekalipun Al-Gazali menolak filsafat dan lebih percaya kepada wahyu, tetapi sesungguhnya dengan cara itu ia secara tidak langsung sedang memberikan satu pencerahan dengan cara kontrol sikap atas pemikiran para filsuf yang pada kala itu masih miskin perspektif dibanding para filsuf di era selanjutnya. Karena itu, sekalipun premis Al-Gazali nampak fundamentalis (untuk dilihat dari kacamata sekarang), agaknya perlu dihargai sebagai sebuah karya yang menggugah kesadaran para pemikir muslim maupun nonmuslim agar bersikap kritis terhadap filsafat yang belum tentu memiliki validitas; terutama antara hubungan teori (imajinasi) dengan praktik.
Gugatan Al-Gazali terhadap filsafat ini misalnya, mendorong Sang Filsuf lain, Ibnu Rusyd menulis karya yang tak kalah fenomenalnya, yakni Tahafut at-Tahafut yang mengkritik Al-Gazali secara kreatif.
Karena ini buku pemikiran, dan target pembelajaran kita terhadap pemikiran adalah meluaskan pandangan, menjadi penting kiranya terjemahan ini dibaca oleh para pemikir. Dari buku inilah kita akan tahu gelombang dahsyat pemikiran di masa lampau pernah melanda umat Islam sehingga kita bisa berkaca tentang banyak hal terhadap tradisi pemikiran saat ini yang mengalami kemandegan.
Sumber tulisan Tahafut Al-Falasifah : Yusuf
***
Judul TAHAFUT AT- TAHAFUT
Penulis IBN RUSYID
Jumlah Halaman XIV+306 HAL
Penerbit PUSTAKA PELAJAR cet 2 Desember tahun 2010
Keterangan singkat: Ibnu Rusyd "Tahafut At-Tahafut (sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah)
Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.
Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.
Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".
Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.
Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.
Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.
Sebagian masyarakat muslim kita, yang membutuhkan kesadaran berpikir kritis harus diakui “terpaksa” mengambil perspektif filsafat sekuler. Hal ini perlu dimaklumi mengingat antara agama (wahyu) dengan ilmu pengetahuan (baca filsafat) memang sesuatu yang berbeda.
Kebutuhan untuk menjembatani antara filsafat dan agama sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum Tahafut ini ditulis oleh Al-Gazali. Tetapi sampai beberapa abad sebelum itu, usaha itu tak kunjung datang sampai munculnya kitab ini. Sayangnya, apa yang ditulis Al-Gazali bukanlah sebuah sintesis yang menghasilkan hubungan harmoni, melainkan kontradiksi yang tajam.
Penolakan Al-Gazali atas filsafat sebagai kebenaran berpikir justru menjadi bagian dari sikap yang pada akhirnya membuat masyarakat muslim sendiri dilanda keterbelahan sikap; di satu sisi masih membutuhkan pengetahuan non samawi, di lain pihak butuh tambatan pasti dari wahyu.
Sekalipun Al-Gazali menolak filsafat dan lebih percaya kepada wahyu, tetapi sesungguhnya dengan cara itu ia secara tidak langsung sedang memberikan satu pencerahan dengan cara kontrol sikap atas pemikiran para filsuf yang pada kala itu masih miskin perspektif dibanding para filsuf di era selanjutnya. Karena itu, sekalipun premis Al-Gazali nampak fundamentalis (untuk dilihat dari kacamata sekarang), agaknya perlu dihargai sebagai sebuah karya yang menggugah kesadaran para pemikir muslim maupun nonmuslim agar bersikap kritis terhadap filsafat yang belum tentu memiliki validitas; terutama antara hubungan teori (imajinasi) dengan praktik.
Gugatan Al-Gazali terhadap filsafat ini misalnya, mendorong Sang Filsuf lain, Ibnu Rusyd menulis karya yang tak kalah fenomenalnya, yakni Tahafut at-Tahafut yang mengkritik Al-Gazali secara kreatif.
Karena ini buku pemikiran, dan target pembelajaran kita terhadap pemikiran adalah meluaskan pandangan, menjadi penting kiranya terjemahan ini dibaca oleh para pemikir. Dari buku inilah kita akan tahu gelombang dahsyat pemikiran di masa lampau pernah melanda umat Islam sehingga kita bisa berkaca tentang banyak hal terhadap tradisi pemikiran saat ini yang mengalami kemandegan.
Sumber tulisan Tahafut Al-Falasifah : Yusuf
***
Judul TAHAFUT AT- TAHAFUT
Penulis IBN RUSYID
Jumlah Halaman XIV+306 HAL
Penerbit PUSTAKA PELAJAR cet 2 Desember tahun 2010
Keterangan singkat: Ibnu Rusyd "Tahafut At-Tahafut (sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah)
Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.
Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.
Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".
Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.
Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.
Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.
TAHAFUT AL-FALASIFAH
Tahafut
al-falasifah adalah kitab yang dibuat oleh al-Ghazali saat ia menjabat
di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari tahafut al-falasifah adalah
sanggahan-sanggahan al-ghozali pada hasil pemikiran filsafat Yunani yang
dibawa oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi’.
Terdapat 20
perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh
al-Ghozali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh
al-Ghozali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta
dikafirkan jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak
mengetahui partikularia-partikularia dan pengingkaran filosof akan
kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang 17 persoalan sisa adalah
persoalan-pesoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu subtansinya.
Sebenarnya
logika al-Ghozali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing
bagi kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di
pesantren juga menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.
1. Sanggahan atas ke-qodim-an Alam
Disini
al-Ghozali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam
adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah
satu yaitu Allah.(88-123)
2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) alam, masa dan ruang
Seperti yang
kita tahu dalam filsafat; benda(materi), masa(waktu) dan ruang adalah
timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu
dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filosof benda
(materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy dalam fisika).
al-Ghozali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah
berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka
hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia.(124-133)
3.
Kerancuan para filosof dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahawa hal tersebut
adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya
Disini
kritik al-Ghozali lebih pada pendapat filosuf yang mengatakan bahwa
Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang
kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih
(murid) dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang
dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadiFa’il (Pelaku) akan apa yang
dikehendakiNya. Dan bagi para Filosuf Tuhan tiadalah dzat yang
berkehendak (murid) karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah
dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya
adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum dlaruri).
Hal kedua bagi filosof yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist).
Ketiga,
Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam murakkab
(berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filosuf
bagaimana mungkin sesuatu yang murakkabdapat timbul dari sesuatu yang
satu?.
Dan al-Ghozali menolak ketiga hal diatas (134-154)
4. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam
Disini
al-Ghozali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia
diciptakan. Dan bagi al-Ghozali ini adalah perpaduan pendapat antara
ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti
ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam
adalah qodimmaka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghozali pendapat
para filosuf tersebut secara otomatis batal. (155-159)
5.
Kelemahan para filosof dalam mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan
adalah satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib al-wujud, yang
masing-masing tiada illah (sebab)
Al-Ghozali
menantang segala hal dalam pembuktian para filosuf tersebut. Bagi
al-Ghozali yang ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada
subtansi persoalan. (160-171)
6. Sanggahan tentang tiadanya sifat bagi Tuhan
Bagi para
filosuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala berkehitungan
(muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama
ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka
ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang
mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al.
Al-Ghozali
menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan pendapat para filosuf
tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghozali hal ini ditolak karena
sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia
menjadi sesuatu yang lain dari dzat.(172-183)
7. Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan
Para Filosuf
berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins (genus) dan fashl
(diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah
dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalh komposisi dan
Tuhan mustahil berkomposisi.
Bagi
al-Ghozali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu terjadi dari segi
definitive. Hal ini karena al-Ghozali menerima adanya sifat-sifat bagi
Tuhan. (184-192)
8.
Batalnya pendapat Filosuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan
adalah wujud yang murni, bukan mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan
bukan hakikat yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib
seperti mahiyah bagi yang lainnya
Al-Ghozali
menyangkal semua analogi folosuf baik tentang mahiyah, hakikat, dan
wujud al-wajib yang menurut al-Ghozali mengulangi kerancuan yang sama.
Al-Ghazli mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam menelurkan
pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para
filosuf.(190-192)
9. Ketidakmampuan filosof untuk membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
Hal ini
berangkat dari adanya tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh
kalangan Filosuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalh hal yang rancu karena
jism adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl).
Jika Filosuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu
jadi ia tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun
menurut al-Ghozali adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat
dari persepsi tentang kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan
terhadap komposisi didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah
(kuiditas-terj). (193-195)
10. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan melalui dalil rasional adanya sebab atau pencipta alam
hal ini bagi
al-Ghozali masih berupa kerancuan para Filosuf yang mempertahankan
pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan. Menurut al-Ghozali
mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang mengatakan
Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab hanya
diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist).(196-197)
11.
Kelemahan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui
yang lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera
(jins) secara universal (bi naui kulliat)
Para filsuf
mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan al-Jins secara kulliat
karena emanasi yang terjadi padanya hanya secara universal bukan
individu-individu atau pribadi-pribadi.
Akan tetapi
al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan
Kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil objek
kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak. (hal 198-202)
12. Ketidakmampuan para filosof untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri
Persoalan
ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa alam
beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti emanasi sinar
matahari dari matahari.
Sanggahan
yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila sesuatu yang beremanasi
dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin Tuhan sebagai
asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan menyadari
akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. (hal
203-205)
13.
Gugurnya pendapat para Filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui
Partikularia-partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian
waktu ke dalam “telah”, “sedang” dan “akan”
Pendapat
para filsuf bahwa Pengetahuan mengikuti objek pengetahuan, apabila objek
berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila pengetahuan berubah
maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada suatu benda
akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian juga
subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan
berubah karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang
terjadi dalam waktu.
Tak
sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya
tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu
perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen
al-Ghazali mengenai hal itu.
Ditambahkan
oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf mengenai hal ini bertentangan
dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan bahwa alam qadim,
sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia berubah? Maka para
filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman alam. (hal 206-217)
14.
Ketidakmampuan para filosof untuk membuktikan bahwa langit adalah
makhluk hidup (hayawan), dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.
Langit
adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang berhubungan dengan
tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh kita. Ini
dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan
alami1, bukan pula gerakan terpaksa (digerakkan oleh “yang lain”) akan
tetapi gerakan volisional2(irady wa nafsany).
Mengenai
ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit bukanlah makhluk hidup,
karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan”3 dan kehendak tuhan
sebagai prinsipnya. (hal 218-221)
15. Sanggahan terhadap yang filosof sebut tujuan yang menggerakkan langit.
Gerakan
langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub(mendekatkan diri)
pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri dalam hal
sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat
pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan
bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan
malaikat-malaikat yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang
mendekati kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui
penyerupaan (tasyabbuh) dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang
sempurna dalam semua posisi yang mungkin baginya.
Sanggahan
yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang diungkapkannya pada
persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan langit tidak
menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati kesempurnaan
dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara posisi
mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan
kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja. (hal 222-225)
16.
Kelemahan teori para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua
partikularia-partikularia yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam
alam ini
Persoalan
ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa malaikat langit adalah
jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam mengisi al-lawh al
mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali kemudian adalah
bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang
partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.
Ditambahkan
oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah pernyataan para filsuf
bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan partikular, maka ia juga
mempunyai representasi subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensi
dari gerakan partikular itu.
Seperti
seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui gerakan-gerakannya dan
konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan tubuh-tubuh yang
lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin. (hal 226-233)
17. Sanggahan terhadap para Filosof akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
Menurut
al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab dan akibat adalah
tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena memang Tuhan
telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa menciptakan
kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak terbakar
api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api
atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah
timbulnya sebuah akibat dari suatu sebab. (hal 239-251)
18.
Ketidakmampuan para Filosof untuk memberikan demonstrasi rasional
tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang
ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak
terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan
tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan
tidak didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat
Yang menjadi
dasar para filsuf dalam hal ini adalah ketidakmungkinan pengetahuan
yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh, karena jika hal itu
maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu. Begitu juga
jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang
merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.
Pendapat para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut :
- Apabila substratum pengetahuan adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan terbagi-bagi.
- Tetapi pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi
- Karenanya substratum itu adalah bukan tubuh.
- Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini telah terbantahkan.
- Kedua, meskipun mereka tidaka menganggap bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu syarat bagi eksistensi jiwa. (hal 274-281)
- Gerakan alami adalah gerakan perpindahan tempat, apabila sesuatu itu telah menempati suatu ruang yang cocok baginya, maka dia tidak akan bergerak lagi.
- Gerakan yang disadari dan dikehendaki.
- Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya “paksaan” dari luar benda itu
Menurut
al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman mereka
tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya.
Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan
atas apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana
jiwa tetap membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya. (hal
252-273)
19.
Kelemahan tesis para filosof bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak
dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita
untuk membayangkan kehancurannya
Al-ghazali memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam dua segi ;
20. Sanggahan terhadap penolakan para Filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh
Menurut
al-Ghazali, agama telah mengajarkan kita untuk mempercayai kebangkitan
kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi dengan kemunculan kembali
kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali kebangkitan
tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam tubuh,
karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu
mengalami perubahan. (hal 282-306)
Wallahu a’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar