Assalamu'alaikum wr. wb...
Aduan Menteri ESDM
Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terkait pencatut
nama Presiden dan Wapres oleh anggota DPR soal perpanjangan kontrak PT
Freeport Indonesia makin gaduh dan memanas.
Lucas SH sebagai penasihat hukum Setya Novanto, mengatakan bahwa
pimpinan DPR mengakui jika petinggi PT Freeport Indonesia atas
keinginannya sendiri mengadakan pertemuan untuk membahas perpanjangan
kontrak.
Dipaparkan Lucas, kronologi pertemuan itu berawal pada tanggal 27 April 2015 pukul 14:00 WIB, Direktur Utama Freeport (MS) datang menemui SN di Gedung DPR.
Kehadiran
MS sendiri untuk meminta bantuan agar (SN) dapat meyakinkan pemerintah
untuk memperpanjang kontrak karya dengan Freeport.
Namun, lanjut
Lucas, hasil tersirat dari pertemuan tersebut menyatakan kontrak karya
Freeport tidak dapat diperpanjang karena bertentangan dengan
undang-undang.
Selain itu, lanjut Lucas, jika Ketua DPR dapat
membantu perpanjangan kontrak Freeport maka ada imbalan, namun
sebaliknya jika kontrak Freeport tidak diperpanjang maka akan ada
arbitrase internasional terhadap Indonesia pada Juli 2015.
"Pertemuan
tersebut berlangsung di ruang ketua DPR antara Ketua DPR (SN) dengan
Dirut Freeport (MS),” ujar Lucas dalam keterangan tertulis yang diterima
Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/11/2015).
Temui Presiden Jokowi
Dijelaskan Lucas,
beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Ketua DPR menemui Presiden
Jokowi untuk menanyakan sikap Presiden terhadap perpanjangan kontrak
Freeport.
Saat itu Presiden dengan tegas menyampaikan bahwa
Freeport tidak dapat diperpanjang karena melanggar UU dan kalaupun mau
diperpanjang harus diubah dengan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat
Indonesia dan Papua.
"Selain itu, seharusnya hal ini tidak
perlu dibahas sekarang karena baru akan jatuh tempo 2021, sehingga kalau
mau dibahas nanti pada tahun 2019,” jelas Lucas.
Setelah
pertemuan dengan Presiden, lanjut Lucas, SN menjadi penasaran dan
khawatir. Mengapa Freeport begitu antusias. Selain itu SN juga ingin
mengetahui lebih jauh mengenai ancaman arbitrase internasional.
Karena itu, SN meminta bantuan seorang pengusaha berinisial R yang
berkelas internasional untuk ikut dalam pertemuan agar mendengar,
memberikan masukan dan menjadi saksi dalam pertemuan tersebut.
“Sebelum pertemuan kedua terjadi, SN dan R terlebih dahulu sepakat bahwa Freeport tidak mungkin bisa diperpanjang karena melanggar UU dan merugikan Indonesia dan Papua," terang Lucas.
Namun,
imbuh Lucas, SN juga berpikir bahwa perpanjangan Freeport harus
dicegah. Hanya saja dalam sisi lain tetap harus memperhatikan ancaman
arbitrase internasional.
Dalam pertemuan kedua yang terjadi pada
13 Mei 2015 pukul 17.00 WIB di Lantai 21 Board 1, Ritz-Carlton, Pacific
Place, Jakarta Selatan, sikap dari Freeport tidak berubah malah semakin
bersemangat.
Apalagi, kata Lucas, ketika dipancing oleh SN
seolah-olah ada jalan untuk perpanjang kontrak Freeport. Namun
pembicaraan tersebut belum juga tuntas dan dilanjutkan dengan pertemuan
yang ketiga.
Selanjutnya dalam pertemuan yang ketiga di Lantai 21
Board 2, Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan pada tanggal 8
Juni lalu, pukul 16.00 WIB, MS begitu antusias dan bersemangat sementara
pihak SN dan R sama sekali tidak tertarik dengan segala iming-iming
dari Freeport.
Karena melihat gelagat yang tidak beres dan
setelah mengetahui siapa yang ada di balik semua ini, lanjut Lucas, maka
SN dan R mengakhiri pertemuan tersebut.
"Sebelum pertemuan ini
diakhiri, SN membisiki MS dengan kalimat kita orang Indonesia, harus
cinta Indonesia, bela kepentingan Indonesia dan tidak hanya berdiri di
atas kepentingan Freeport,” tegas Lucas.
Lucas mengatakan pertemuan pun diakhiri dan tidak ada pertemuan lebih lanjut.
SUMBER LAIN
Tiga pertemuan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin
menimbulkan polemik. Pertemuan Novanto dan Riza itu salah satunya
diduga membicarakan permintaan saham ke PT Freeport dengan mencatut nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat ditemui di kediamannya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (18/11/2015) malam, Setya Novanto menjelaskan kronologi ketiga pertemuan itu:
1. Pertemuan pertama, 27 April 2015
Menurut
Novanto, pertemuan pertama ini berlangsung di ruang kerjanya, Gedung
Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sekitar pukul 14.00
WIB, Maroef datang menemui Novanto dan meminta tolong agar kontrak PT
Freeport bisa diperpanjang sampai 2041.
Jika diperpanjang, PT
Freeport bersedia membangun smelter sebagai imbalannya. Smelter tidak
akan dibangun Papua, namun di Gresik yang persiapannya sudah matang.
Sebaliknya, jika tak segera diperpanjang, Maroef mengancam akan ada
sanksi arbitrase internasional bagi Indonesia pada Juli 2016.
Tak
lama setelah pertemuan tersebut, Novanto bertemu Jokowi. Novanto pun
menyampaikan keinginan Maroef. Namun, Presiden secara tegas menyatakan
tidak akan membicarakan perpanjangan kontrak sampai 2019. Sebab, kontrak
Freeport baru habis pada 2021.
"Presiden itu secara tegas
menyampaikan apapun yang dilakukan terkait PT Freeport harus sesuai
dengan undang-undang dan sesuai kepentingan bangsa Indonesia, khususnya
masyarakat Papua," ujar Novanto.
2. Pertemuan kedua, 13 Mei 2015
Setelah
mendapatkan penjelasan dari Presiden, akhirnya Novanto dan Maroef
melakukan pertemuan kedua di sebuah hotel di kawasan Pacific Place,
Jakarta, pukul 17.00 WIB. Namun, karena sudah ada kecurigaan kepada
Maroef, khususnya terkait dengan ancaman Arbitrase Internasional,
akhirnya Novanto pun memutuskan untuk mengajak Riza.
Pada
intinya, Novanto mengaku menyampaikan apa yang dsampaikan Presiden dalam
pertemuan sebelumnya, bahwa kontrak belum bisa diperpanjang sebelum
2019. Kontrak juga harus diubah agar menguntungkan masyarakat Indonesia,
khususnya Papua.
"Saya tidak pernah mencatut karena Presiden
dan Wakil Presiden itu lambang negara yang harus dihormati dan dijaga,"
ujar Novanto.
Mendengar penjelasan Novanto, Maroef tak terima. Dia menegaskan lagi ancamannya soal arbitrase internasional pada Juli 2016.
3. Pertemuan ketiga, 8 Juni 2015
Maroef
tak puas dengan pertemuan kedua dan kembali mengajak Novanto bertemu.
Pertemuan kembali dilakukan di hotel yang sama dengan lokasi pertemuan
kedua, pukul 16.00 WIB. Maroef masih berupaya melobi Novanto agar
membantu memuluskan renegosiasi kontrak hingga 2041.
Novanto
menyanggupi karena masih penasaran dengan ancaman arbitrase
internasional. Dia kembali mengajak Riza dalam pertemuan ketiga ini.
"Kita
mempertanyakan masalah arbitrase itu ya. Padahal itu yang harus kita
selesaikan. Ya sudah kita ketemu lagi deh," ucap Novanto.
Dalam pertemuan ini lah, pembicaraan direkam. Rekaman itu kemudian dijadikan bukti oleh Menteri ESDM Sudirman Said
untuk melapor ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Novanto dan Riza dituduh
meminta saham ke PT Freeport dengan menggunakan nama Jokowi-JK. Novanto
pun membantah tuduhan itu.
Dia tidak menyangkal ada pembicaraan
soal saham dalam pertemuan ketiga ini. Namun, saham yang dimaksud adalah
berupa divestasi dari Freeport untuk negara. Novanto juga menilai,
rekaman yang beredar di media sosial tidak utuh.
"Jadi, enggak
saham kan. Divestasi saja. Di pikirannya itu kan diberikan ke BUMD kan
bisa. Jadi, sebenarnya di situ," kata Politisi Partai Golkar ini.
Pertemuan
ketiga itu tak juga menghasilkan titik temu. Novanto tetap memegang
prinsip Jokowi bahwa perpanjangan kontrak baru dibahas 2019 dan tak akan
ada bantuan untuk mempercepat itu.
Maroef juga masih mengancam
akan ada arbitrase internasional jika kontrak tak diperpanjang. Akhirnya
Novanto pun tak pernah bertemu lagi dengan Maroef sampai saat ini.
logikahkm
Sabtu, 16 Januari 2016
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Assalamu'alaikum wr. wb
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.
Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.
Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum" dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat".
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada 22 September 2004.
LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.
Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
Aliran Dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century atau secara teknis disebut sebagai penyertaan modal sementara (PMS) yang dikucurkan dalam kurun waktu delapan bulan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mencapai sejumlah Rp 6,7 triliun adalah salah satu tata cara penanganan terhadap bank gagal yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) dalam hal ini termasuk bank gagal dalam dampak sistemik, untuk saat sekarang Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) masih berada dalam naungan lingkup kerja pada Bank Indonesia (BI). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya Bank Century diubah nama menjadi Bank Mutiara
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan pembayaran bagi dana masyarakat berkaitan dengan produk-produk jasa perbankan tetapi dalam pengucuran dana pada Bank Century akhirnya justru menimbulkan polemik politik dibandingkan dengan penegakan hukum bahkan pada tanggal 30 November 2009 dalam sebuah jumpa pers di Jakarta, Mustar Bona Ventura dan Ferdi Simaun, aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) menyebutkan sejumlah nama yang dikatakan ikut menerima sejumlah aliran dana dari pengucuran dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century dan dengan tanpa menyebutkan sumber data hanya dikatakannya sebagai Data-data yang diumumkan berdasarkan dari jaringan aktivis Jakarta, Bandung, Cianjur dan Bogor, keesokan harinya sejumlah nama yang disebutkan melakukan pelaporan pada Polda Metro Jaya terhadap apa yang dikatakan sebagai berita fitnah dan pencemaran nama baik. Presiden SBY ikut menyatakan bahwa tidak pernah ada temuan itu dan silakan cek dari kebenaran berita itu, berita itu merupakan fitnah luar biasa dan perlu diselesaikan supaya keadilan ditegakkan dan masih menurut presiden, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan sebenar-benarnya soal kasus Bank Century. Presiden mendukung proses supaya persoalan yang mendapat perhatian luas publik itu terbuka secara terang dan jelas, saya prihatin dengan berita yang beredar yang tidak berlandaskan kebenaran. saya nilai berita itu fitnah. berita itu sudah keterlaluan.
Kehebohan politik berujung pada tanggal 1 Desember 2009 dalam Sidang Paripurna Pengesahan Panitia Hak Angket Bank Century terhadap usulan penggunaan Hak Angket DPR yang diusulkan oleh 503 Anggota DPR tersebut disahkan dan disetujuinya penggunaan hak angket untuk mengungkap skandal Bank Century dengan didukung oleh seluruh fraksi yang berada di DPR yakni 9 Fraksi, dengan fokus penyelidikan angket
Rangkuman :
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.
Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.
Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum" dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat".
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada 22 September 2004.
LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.
Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
Aliran Dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century atau secara teknis disebut sebagai penyertaan modal sementara (PMS) yang dikucurkan dalam kurun waktu delapan bulan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mencapai sejumlah Rp 6,7 triliun adalah salah satu tata cara penanganan terhadap bank gagal yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) dalam hal ini termasuk bank gagal dalam dampak sistemik, untuk saat sekarang Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) masih berada dalam naungan lingkup kerja pada Bank Indonesia (BI). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya Bank Century diubah nama menjadi Bank Mutiara
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan pembayaran bagi dana masyarakat berkaitan dengan produk-produk jasa perbankan tetapi dalam pengucuran dana pada Bank Century akhirnya justru menimbulkan polemik politik dibandingkan dengan penegakan hukum bahkan pada tanggal 30 November 2009 dalam sebuah jumpa pers di Jakarta, Mustar Bona Ventura dan Ferdi Simaun, aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) menyebutkan sejumlah nama yang dikatakan ikut menerima sejumlah aliran dana dari pengucuran dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century dan dengan tanpa menyebutkan sumber data hanya dikatakannya sebagai Data-data yang diumumkan berdasarkan dari jaringan aktivis Jakarta, Bandung, Cianjur dan Bogor, keesokan harinya sejumlah nama yang disebutkan melakukan pelaporan pada Polda Metro Jaya terhadap apa yang dikatakan sebagai berita fitnah dan pencemaran nama baik. Presiden SBY ikut menyatakan bahwa tidak pernah ada temuan itu dan silakan cek dari kebenaran berita itu, berita itu merupakan fitnah luar biasa dan perlu diselesaikan supaya keadilan ditegakkan dan masih menurut presiden, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan sebenar-benarnya soal kasus Bank Century. Presiden mendukung proses supaya persoalan yang mendapat perhatian luas publik itu terbuka secara terang dan jelas, saya prihatin dengan berita yang beredar yang tidak berlandaskan kebenaran. saya nilai berita itu fitnah. berita itu sudah keterlaluan.
Kehebohan politik berujung pada tanggal 1 Desember 2009 dalam Sidang Paripurna Pengesahan Panitia Hak Angket Bank Century terhadap usulan penggunaan Hak Angket DPR yang diusulkan oleh 503 Anggota DPR tersebut disahkan dan disetujuinya penggunaan hak angket untuk mengungkap skandal Bank Century dengan didukung oleh seluruh fraksi yang berada di DPR yakni 9 Fraksi, dengan fokus penyelidikan angket
- Mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku, terkait keputusannya untuk mencairkan dana talangan (bail out) Rp 6,76 triliun untuk Bank Century. Adakah indikasi pelanggaran peraturan perundangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata.
- Mengurai secara transparan komplikasi yang menyertai kasus pencairan dana talangan Bank Century. Termasuk mengapa bisa terjadi perubahan Peraturan Bank Indonesia secara mendadak, keterlibatan Kabareskrim Mabes Polri ketika itu, Komjen Susno Duadji, dalam pencairan dana nasabah Bank Century, dan kemungkinan terjadi konspirasi antara para pemegang saham utama Bank Century dan otoritas perbankan dan keuangan pemerintah.
- Menyelidiki ke mana saja aliran dana talangan Bank Century, mengingat sebagian dana talangan tersebut oleh direksi Bank Century justru ditanamkan dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan dicairkan bagi nasabah besar (Budi Sampoerna). Sementara kepentingan nasabah kecil justru terabaikan. Adakah faktor kesengajaan melakukan pembobolan uang negara demi kepentingan tertentu, misalnya politik, melalui skenario bail out bagi Bank Century.
- Menyelidiki mengapa bisa terjadi pembengkakan dana talangan menjadi Rp 6,76 triliun bagi Bank Century? Sementara Bank Century hanyalah sebuah bank swasta kecil yang sejak awal bermasalah, bahkan saat menerima bail out, bank ini dalam status pengawasan khusus. Rasionalkah alasan pemerintah bahwa Bank Century patut diselamatkan karena mempunyai dampak sistemik bagi perbankan nasional secara keseluruhan.
- Mengetahui seberapa besar kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus bail out Bank Century dan sejumlah kemungkinan penyelamatan uang negara bisa dilakukan. Sebab lain penegakan hukum, di tengah berbagai kesulitan hidup yang dialami masyarakat kebanyakan, aspek penyelamatan uang negara ini sangat penting untuk dijadikan perioritas demi memenuhi rasa keadilan rakyat. Selanjutnya, uang negara yang dapat diselamatkan bisa digunakan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
UNDANG- UNDANG LPS
PERPU 3 2008
Judul | Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan |
Tanggal | 13 Oktober 2008 |
Berlaku | Sejak 13 Oktober 2008 |
Pengundangan | Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 143 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4902 |
Status |
Ditetapkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2009
|
Lampiran |
-
Perpu ini merupakan penyempurnaan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang
LPS. Beberapa hal yang melatarbelakangi perubahan UU tersebut antara
lain adalah:
- Penjaminan simpanan nasabah bank yang selama ini dilakukan melalui program penjaminan LPS telah secara nyata dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan pasca krisis 1998.
- Namun, dengan adanya krisis keuangan global yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan nasional, perlu dilakukan antisipasi agar tidak terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran akibat menurunnya kepercayaan masyarakat atas jaminan keamanan uang yang disimpannya.
- Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat tersebut maka Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS.
- Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang memaksa maka perubahan atas UU tersebut ditetapkan dalam suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
- Dalam Perpu ini diatur mengenai tambahan kriteria perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin untuk mengantisipasi dampak dari krisis keuangan global sebagaimanan diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d Perpu ini.
Syarat & Ketentuan
Berikut adalah Syarat dan Ketentuan Kompetisi Foto dan Tulisan Jurnalistik LPS.
Ketentuan Umum Kompetisi Foto Jurnalistik LPS
- Terbuka untuk pewarta/jurnalis.
- Setiap peserta dapat mengirimkan maksimal 5 foto dengan verifikasi data lomba melalui alamat email & nomor telepon yang digunakan.
- Foto tidak mengandung unsur SARA dan pornografi.
- Hak cipta melekat pada fotografer, namun LPS diberikan hak/ijin untuk mempublikasikan setiap foto yang diikutkan dalam Lomba untuk berbagai keperluan LPS termasuk kegaiatan edukasi, promosi media cetak maupun digital, pameran, dan lain-lain.
- LPS dibebaskan dari semua tuntutan yang mungkin timbul dari pihak-pihak, sehubungan dengan penggunaan foto dalam poin nomor 5 di atas.
- Seluruh karya foto yang masuk ke LPS akan diseleksi oleh Dewan Juri, untuk mendapatkan 10 nominator, untuk kemudian akan dipilih 3 pemenang.
- Pengiriman karya dimulai Rabu 1 Juli 2015 dan ditutup Senin 14 September 2015 pukul 24.00 WIB.
Ketentuan Khusus Kompetisi Foto Jurnalistik
- Karya foto yang diikutsertakan dalam Lomba, adalah karya sendiri, dan sudah dipublikasikan di media cetak umum dalam periode 1 Januari 2014 – 14 September 2015.
- Olah digital diperbolehkan, sebatas perbaikan kualitas foto (sharpening, cropping, color balance, dan saturasi warna) tanpa merubah keaslian objek.
- Tidak diperbolehkan mengirimkan foto berupa kombinasi lebih dari satu foto (composite dan montage) dan menghilangkan/mengubah elemen-elemen dalam satu foto.
- Dengan mengirimkan karya foto berarti peserta telah menyetujui semua persyaratan yang telah ditetapkan oleh panitia.
- Panitia mempunyai hak mutlak untuk mendiskualifikasi foto peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap tidak memenuhi ketentuan.
- Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
- Peserta tidak dipungut biaya apapun untuk mengikuti kompetisi ini.
Ketentuan Umum Kompetisi Artikel Jurnalistik
- Terbuka untuk pewarta/jurnalis.
- Setiap peserta dapat mengirimkan maksimal 5 artikel dengan verifikasi data lomba melalui alamat email & nomor telepon yang digunakan.
- Artikel tidak mengandung unsur SARA dan pornografi.
- Hak cipta melekat pada penulis, namun LPS diberikan hak/ijin untuk mempublikasikan setiap artikel yang diikutkan dalam Lomba untuk berbagai keperluan LPS termasuk kegaiatan edukasi, promosi media cetak maupun digital, pameran, dan lain-lain.
- LPS dibebaskan dari semua tuntutan yang mungkin timbul dari pihak-pihak, sehubungan dengan penggunaan artikel dalam poin nomor 5 di atas.
- Seluruh karya artikel yang masuk ke LPS akan diseleksi oleh Dewan Juri, untuk mendapatkan 10 nominator, untuk kemudian akan dipilih 3 pemenang.
- Pengiriman karya dimulai Rabu 1 Juli 2015 dan ditutup Senin 14 September 2015 pukul 24.00 WIB.
Ketentuan Khusus Kompetisi Artikel Jurnalistik
- Artikel yang diikutsertakan dalam Lomba, adalah karya sendiri, dan sudah dipublikasikan di media cetak maupun online umum dalam periode 1 Januari 2014 – 14 September 2015.
- Dengan mengirimkan karya tulisan berarti peserta telah menyetujui semua persyaratan yang telah ditetapkan oleh panitia.
- Panitia mempunyai hak mutlak untuk mendiskualifikasi tulisan peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap tidak memenuhi ketentuan.
- Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
- Peserta tidak dipungut biaya apapun untuk mengikuti kompetisi ini.
Prosedur Pengiriman Karya Foto dan Artikel
- Mengisi formulir data peserta dalam website (upload foto untuk kompetisi foto, atau upload tulisan untuk kompetisi artikel) dengan lengkap dan mengunggah foto dan artikel yang akan dilombakan. Termasuk mengisi formulir detil penerbitan karya yang diikut sertakan.
- Sebelum dikirim, foto harus diperkecil (resize) dengan ukuran 1500 x 869 pixel dengan resolusi 300dpi, disimpan dalam format .JPG.
- Besar file foto maksimal 1,5 MB. Apabila melewati batas maksimal, foto akan otomatis ditolak sistem.
- Seluruh foto yang diupload akan ditampilkan dalam website
- Karya terpilih para nominator akan ditampilkan dalam website http://www.lps.go.id/lombafoto
- Pengumuman Pemenang terpilih akan dicantumkan dalam website pada saat Ulang Tahun LPS tanggal 22 September 2015.
- Juara I, II, dan III akan diinformasikan melalui email dan telepon.
Ironinya Kasus Sengkon dan Karta
Assalamu'alaikum wr. wb...
Sengkon dan Karta
Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. TapiSengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil.
Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. HakimDjurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.
Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.
Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.
Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.
Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan (berbagai sumber).
Menurut saya hukum di Indonesia masih berat sebelah, yang benar saja masa ada yang namanya salah hukum, kalau dalam hal yang kecil tidak apa tapi ini menyangkut dengan nyawa manusia. Saya sangat berharap jangan sampai hal ini terulang kembali!
Sengkon dan Karta
Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. TapiSengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil.
Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. HakimDjurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.
Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.
Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.
Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.
Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan (berbagai sumber).
Menurut saya hukum di Indonesia masih berat sebelah, yang benar saja masa ada yang namanya salah hukum, kalau dalam hal yang kecil tidak apa tapi ini menyangkut dengan nyawa manusia. Saya sangat berharap jangan sampai hal ini terulang kembali!
KASUS AKIL MUKHTAR
Assalamu'alaikum wr. wb...
Dr. H. M. Akil Mochtar S.H., M.H. | |
---|---|
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ke-3 | |
Masa jabatan 3 April 2013 – 5 Oktober 2013[1] | |
Didahului oleh | Mahfud MD |
Digantikan oleh | Hamdan Zoelva |
Hakim Konstitusi Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1 April 2008 – 5 Oktober 2013 | |
Wakil Ketua Komisi III DPR Republik Indonesia | |
Masa jabatan 2004 – 2006 | |
Anggota DPR Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1999 – 2004, 2004 – 2009 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 18 Oktober 1960 (umur 55) Putussibau, Kalimantan Barat, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Ratu Rita |
Alma mater | Universitas Panca Bhakti Universitas Padjajaran |
Pekerjaan | Pengacara Hakim Konstitusi |
Agama | Islam |
BIOGRAFI
Muhammad Akil Mochtar lahir di Putussibau, Kalimantan Barat, pada tanggal 18 Oktober 1960. Setelah menyandang gelar Sarjana Hukum, Akil menjalani profesi sebagai seorang pengacara. Pada tahun 1998, Akil bergabung dengan Partai Golongan Karya dan terpilih sebagai anggota DPR RI periode 1999-2004 mewakili daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu, dengan perolehan 85 persen suara. Ia menjadi anggota DPR RI di Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria. Akil kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPR untuk periode 2004-2009, sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI (bidang hukum, perundang-undangan, HAM, dan keamanan).
Pada tahun 2008, bersamaan dengan dibukanya pendaftaran calon Hakim Konstitusi, Akil juga ikut mendaftar dan terpilih sebagai Hakim Konstitusi. Pada bulan April 2013, Akil terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menggantikan Mahfud MD. Karena telah menjabat sebagai Ketua MK, sebagai Hakim Konstitusi, masa jabatan Akil berakhir pada tanggal 16 Agustus 2013. DPR kemudian memperpanjang masa jabatannya untuk periode kedua (2013-2018) sebagai Hakim Konstitusi. Ia diberhentikan sebagai ketua MK pada tanggal 5 Oktober 2013 terkait dengan kasus penyuapan sengketa Pilkada.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menjelaskan kronologi operasi tangkap tangan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Kamis 3 Oktober 2013. Menurut Abraham, operasi ini sudah dimulai sejak awal September lalu.
"Diduga tindak pidana korupsi yang akan dilakukan AM selaku Ketua MK," kata Abraham dalam jumpa pers di kantor KPK. Informasi itu, imbuhnya, kemudian berkembang bahwa akan ada penyerahan uang di kediaman Akil di jalan Widya Chandra III, Jakarta. Penyerahan uang ini diduga terkait perkara sengkata pilkada di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Tim penyidik kemudian memantau lokasi. "Pada 2 Oktober, sekitar pukul 22. 00, tampak sebuah kendaraan yang diidentifikasi sebagai Toyota Fortuner mendatangi kediaman AM," jelas Abraham.
Mobil itu dikemudikan N, suami anggota DPR Chairun Nisa (CHN). Dari mobil itu kemudian Chairun turun dan ditemani CNA atau Cornelis, seorang pengusaha di Palangkaraya. "Selanjutnya, CN dan CNA memasuki kediaman AM," imbuhnya.
Tak lama, penyidik kemudian masuk dan menangkap mereka. Dari operasi itu, KPK menyita uang dengan nilai total Rp3 miliar.
Rupanya di hari yang sama, Akil pun diduga menerima suap dari perkara sengketa pilkada lain, yaitu pilkada di Lebak, Banten. Akil diduga menerima uang dari pengusaha Tubagus Chaery Wardhana (TCW). Dia adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah.
"Diduga tindak pidana korupsi yang akan dilakukan AM selaku Ketua MK," kata Abraham dalam jumpa pers di kantor KPK. Informasi itu, imbuhnya, kemudian berkembang bahwa akan ada penyerahan uang di kediaman Akil di jalan Widya Chandra III, Jakarta. Penyerahan uang ini diduga terkait perkara sengkata pilkada di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Tim penyidik kemudian memantau lokasi. "Pada 2 Oktober, sekitar pukul 22. 00, tampak sebuah kendaraan yang diidentifikasi sebagai Toyota Fortuner mendatangi kediaman AM," jelas Abraham.
Mobil itu dikemudikan N, suami anggota DPR Chairun Nisa (CHN). Dari mobil itu kemudian Chairun turun dan ditemani CNA atau Cornelis, seorang pengusaha di Palangkaraya. "Selanjutnya, CN dan CNA memasuki kediaman AM," imbuhnya.
Tak lama, penyidik kemudian masuk dan menangkap mereka. Dari operasi itu, KPK menyita uang dengan nilai total Rp3 miliar.
Rupanya di hari yang sama, Akil pun diduga menerima suap dari perkara sengketa pilkada lain, yaitu pilkada di Lebak, Banten. Akil diduga menerima uang dari pengusaha Tubagus Chaery Wardhana (TCW). Dia adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah.
Uang itu, kata Abraham, diberikan melalui STA. "STA ini dikenal AM," imbuhnya. Sedangkan STA menerima uang tersebut dari TCW melalui N di Apartemen Aston. "Uang itu dimasukkan dalam travel bag warna biru yang kemudian dibawa STA," jelasnya.
STA kemudian menyimpan uang ini di kediaman orangtuanya di Tebet, Jakarta. Semula, uang ini akan diserahkan ke AM. "Tapi, sekitar pukul 15.00 WIB, STA pergi ke Lebak. Tim penyidik megikutinya dan menangkap STA."
Kemudian, penyidik menangkap TCW di sebuah rumah di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan. Tim penyidik juga mendatangi kediaman STA di Tebet dan menyita uang dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu. "Total nilainya Rp1 miliar," jelas Abraham.
STA kemudian menyimpan uang ini di kediaman orangtuanya di Tebet, Jakarta. Semula, uang ini akan diserahkan ke AM. "Tapi, sekitar pukul 15.00 WIB, STA pergi ke Lebak. Tim penyidik megikutinya dan menangkap STA."
Kemudian, penyidik menangkap TCW di sebuah rumah di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan. Tim penyidik juga mendatangi kediaman STA di Tebet dan menyita uang dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu. "Total nilainya Rp1 miliar," jelas Abraham.
Demikianlah kasus dari Akil Mukhtar.
Langganan:
Postingan (Atom)